Entri Populer

Rabu, 15 Juni 2011

MASIHKAH KEJUJURAN ITU DIBUTUHKAN?

Jujur, sebuah kata yang mengindikasikan orang yang menyandang predikat jujur dalam setiap tindak tanduk dan perkataannya adalah pastinya disenangi oleh masyarakat sekelilngnya. Setidaknya itulah anggapan awal terhadap prilaku jujur tersebut. Anggapan itu boleh saja benar, bahkan seharusnya memang seperti itu, idealnya tidak boleh keluar dari jalur moral. Akan tetapi, hal yang sebaliknya terjadi pada negeri ini, negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai kejujuran.

Nilai kejujuran sebenarnya masih dalam tahap teori dan konsep, belum menjadi suatu hal yang applicable oleh bangsa ini. Meskipun tidak terhitung lagi jumlah para cendekiawan, para pemimpin, para pengusaha, dan berbagai kalangan masyarakat yang selalu mengungkapkan dan menyatakan bahwa ‘jujur’ itu adalah penting untuk membangun pondasi bangsa ini. 

Pendapat ini bukanya tak berdasar, akan tetapi kita sepertinya sudah terusik dengan kata-kata jujur itu ketika disandingkan dengan keadaan yang ada sekarang. Seseorang yang mencoba berbuat jujur malah menjadi korban ketidak-mengertian atau sengaja tidak mau mengerti akan nikmat dari perbuatan itu. Atau karena mereka terpaksa melakukannya karena system yang membuat hal itu terjadi. Ah, lagi-lagi system yang dipersalahkan, bagaimana dengan orang yang membuat dan menjalankan system itu?

Alif, seorang siswa sekolah dasar, SDN Gadel II di surabaya adalah salah satu contoh. Karena kejujurannya dalam mengerjakan Ujian Nasional (UN) di sekolahnya membuat dia harus menanggung akibatnya. Dan tak tanggung-tanggung, warga yang ada dilingkungannya mengusir dia dari istana yang selama ini dia tempati bersama dengan orang tuanya. Bahkan mencapnya "sok pahlawan" dan "tak punya hati nurani" (detiknews.com).

Sungguh tragis nasib yang dialami oleh adik kita yang satu ini. Berdasar nilai-nilai kejujuran yang diajarkan oleh orangtuanya ternyata membuat  dia harus kehilangan kemerdekaannya dan kehilangan harapanya. Ini adalah kasus kecil yang menjadi contoh, bagaimana dengan seorang pejabat yang mencoba berbuat jujur? Pasti akan lebih berat akibat yang akan dia tanggung. Karena jujur tidak lagi memiliki tempat di republik ini, yang ada hanyalah kebohongan, dusta dan tipu muslihat.

Apa yang akan terjadi jika kejujuran itu tidak lagi menajdi patokan dalam bertindak, tidak lagi menjadi tolak ukur ketika ingin melakukan sesuatu dan yang lebih parah tidak lagi didambakaan keberadaannya oleh masyarakat. Dan bagaimana pula dengan orang yang masih teguh memegang nilai-nilai kejujuran itu, apakah akan selamanya bertahan dan mempertahankan idealismenya? 

Sepertinya akan sangat susah jika kita sudah hidup di negara yang kleptokrasi, Negara yang penuh dengan kebohongan, Negara yang penuh dengan kepura-puraan, Negara yang penuh dengan acting seperti semuanya dalam panggung sinetron. Para penyelenggara Negara  berpura-pura baik hanya jika berhadapan dengan media, berhadapan dengan konstituen, dan berhadapan dengan para penipu itu sendiri.

Memang lucu negeri ini, tidak akan lebih parah jika kita menyebutnya Negara kleptokrasi. Yang dalam bahasa latin disebut (kleptein dan cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan korupsi merajalela (a government characterized by rampant greed and corruption), Amich Alhumami (2005). Atau dalam bahasa Yunani disebut juga klepto+kratein yang berarti "diperintah oleh para maling" (Wikipedia Indonesia). 

Kleptokrasi sebagai salah satu bentuk korupsi berat tidak semata-mata merupakan tindakan birokrat dalam menerima suap yang jumlanya kecil, tetapi suatu bentuk keserakahan pemegan kekuasaan dalam melakukan tindakan menyalahgunakan kekuasaanya untuk kepentingan pribadi dan kroni kroninya dengan kerugian keuangan negera yang sangat luar biasa (R. theobald, 1994 : 701 ).sumber :Opcit, hlm.8

Negara yang dalam kategori sebagai Negara kleptokrasi juga bisa dikatakan sebagai Negara gagal (failed state). Dan negeri ini bisa jadi adalah salah satu contoh, dimana tidak ada lagi panutan yang bisa menuntun kita menuju hidup yang ideal. Penyelenggara negara telah melakukan persekongkolan dengan korporasi untuk menguras uang public. Telah melakuan kebohongan massal dalam menjalankan roda pemerintahan. Ciri lain dari negara kleptokrasi adalah ketika administrasi public dijalankan dengan system kronisme, nepotisme dan makelarisme (Wikipedia Indonesia). Sepertinya tidak ada ciri yang terlewatkan jika kita mengambil contoh untuk negeri ini, jadi memang sudah pantas menyandang gelar Negara kleptokrasi, sebuah kebanggaan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Bahkan, hukum yang seharusnya dijadikan panglima dalam mencari keadilan tidak mampu lagi menyediakan rasa adil, tidak mampu menjadi solusi bagi para pencari keadilan, bahkan keadilan itu dinisbahkan hanya kepada pemilik modal saja. Jangan menyalahkan system lagi, tetapi salahkan penegak hukum kita yang seakan tidak mempunyai wibawa dalam memangku rasa adil itu dipundaknya. Seharusnya mereka dengan berani mengatakan “saya tidak mampu menjalankan tugas ini, dan saya serahkan kepada orang yang betul-betul bisa”. Masih adakah orang-orang yang didambakan itu?

Kasus terakhir yang membuat kita tambah yakin adalah Syarifuddin, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap terkait penanganan kepailitan PT Skycamping Indonesia. Syarufuddin diduga menerima suap senilai Rp 250 juta dari Puguh terkait penjualan aset PT SCI yang dinyatakan pailit sejak 2010. Penjualan aset PT SCI berupa tanah di Bekasi senilai Rp 16 miliar dan Rp 19 miliar itu harus melalui persetujuan Syarifuddin selaku hakim pengawas pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Penyakit kleptokrasi, dalam ilmu psikologi adalah penyakit bisa disebut dengan kleptomania, penyakit yang dimana pengidapnya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Sebenarnya kleptomania masih bisa disingkirkan di negeri ini. Tetapi hanya ada satu jalan yang menurut penulis adalah obat ampuh nan mujarab, yaitu mengamputasi setiap penyelenggara administrasi pemerintahan yang sudah mengidap penyakit ini. Tetapi masalahnya adalah siapa yang bisa mengindikasikan pejabat yang kleptomania ini? Karena tidak ada orang yang mau mengaku dirinya adalah maling, malah pepatah “maling teriak maling” menjadi senjata ampuh mereka.

Pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: apakah masih ada penyelenggara Negara yang tidak mengidap penyakit kleptomania?

Tidak ada komentar: