Entri Populer

Jumat, 22 Juli 2011

Sang Perantau: MASIHKAH KEJUJURAN ITU DIBUTUHKAN?

Sang Perantau: MASIHKAH KEJUJURAN ITU DIBUTUHKAN?: "Jujur, sebuah kata yang mengindikasikan orang yang menyandang predikat jujur dalam setiap tindak tanduk dan perkataannya adalah pastinya d..."

Sang Perantau: BEROBAT UNTUK MENCARI SAKIT

Sang Perantau: BEROBAT UNTUK MENCARI SAKIT: "Tergelitik hati ini ketika membaca berita di harian Tempo edisi 16 Juni 2011 yang berjudul “Menjelang vonis, terdakwa korupsi ke Singapur..."

Sang Perantau: Akankah Wadah Tunggal Advokat Terwujud?

Sang Perantau: Akankah Wadah Tunggal Advokat Terwujud?: "Senin, 27 Juli 2011 Mahkamah Konstitusi RI (MK) mengetuk palu untuk pengujian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap ..."

Sang Perantau: “Jangan Percaya Dengan Politikus”

Sang Perantau: “Jangan Percaya Dengan Politikus”: "Berita tentang Nazaruddin menjadi konsumsi kita sejak beberapa minggu yang lalu. Mantan bendahara umum Partai Demokrat ini membuat suatu ..."

“Jangan Percaya Dengan Politikus”


Berita tentang Nazaruddin menjadi konsumsi kita sejak beberapa minggu yang lalu. Mantan bendahara umum Partai Demokrat ini membuat suatu sensasi dengan berbagai manufer yang dilakukan sejak ia dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) dalam kasus suap wisma atlet SEA GAMES di Palembang. Tudingan demi tudingan dilakukan seakan tidak mau dijadikan satu-satunya korban. Benar atau tidak tudingan itu, publik sudah mulai terpecah dengan wacana tersebut. Ada yang beranggapan bahwa penegak hukum harus mengusut semua orang-orang yang ada telah disebut oleh Nazaruddin terlibat. Ada juga yang menganggap Nasaruddin adalah seorang pengecut dan tidak usah dihiraukan semua “kicauan” yang dilontarkan.

Kasus ini memang menjadi perhatian publik, terutama kalangan politisi. Bagaimana tidak, hampir semua nama yang disebut oleh Nazaruddin terlibat adalah berasal dari partai politik. Dan yang paling menghebohkan adalah menyerang bekas bosnya sendiri di Demokrat atau koleganya dalam bisnis, siapa lagi kalau bukan Anas Urbaningrum, ketua umum partai yang sedang berkuasa di Republik ini, Partai Demokrat. Meski semua tudingan yang dilancarkan oleh Nasaruddin telah dibantah seluruhnya oleh Anas, akan tetapi persolanan ini tidak menjadi lebih baik, bahkan sebaliknya menjadi bola api yang menggelinding kesemua arah. Bahkan sampai juga ke pemburu koruptor, KPK.
Anas Urbaningrum diduga telah melakukan deal dengan pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Ade Rahardja bahwa kasus yang berkaitan dengan nasaruddin cukup berhenti pada nasaruddin saja, tidak usah melebar sampai kemana-mana, demi mulusnya jalan dalam seleksi pimpinan KPK. Ini artinya memang ada pihak lain yang terlibat yang tidak menutup kemungkinan lebih “besar” dari Nazaruddin. Tetapi, lagi-lagi ketua KPK, Busyro Muqaddas membantah semua tudingan tersebut dengan menyatakan "Tidak ada yang benar (soal tudingan Nazar) soal Chandra dan Ade Raharja". Siapa yang benar? Tentu tidak akan terjawab dengan jelas. karena ini berkaitan dengan politik yang dimainkan oleh politikus dan penegak hukumnya telah dicekik oleh partai.

Ada apa sebenarnya dengan politikus, bukankah mereka menyatakan bahwa semuanya konsisten mengawal pemberantasan korupsi. Ada hal yang perlu kita cermati untuk menyelamatkan bangsa ini dari jerat para koruptor (politikus). Jerat para politikus busuk yang hanya memementingkan isi perutnya saja atau perut keluarganya dan perut koleganya. Bukan perut rakyat yang memilih mereka sehingga bisa dengan legal menikmati uang dari rakyat. Bukan untuk rakyat yang mereka janjikan ketika kampanye sebelum pemilihan. Bukan kepada rakyat yang katanya diwakili oleh mereka ketika duduk di senayan atau kursi eksekutif. Bukan kepada rakyat yang nyata-nyata membutuhkan bantuan dan kerja nyata mereka sebagai orang yang dimandatkan. Bukan pula kepada rakyat yang haus akan kesejahteraan karena hidup di negara yang penuh dengan kekayaan alam ini.

Kita tidak usah teralu berharap dengan para politikus itu, karena cara berpolitik dari hampir semua partai yang ada di Indonesia sama. Mereka biasanya “Berpolitik Kancil” dalam mencapai tujuan dari partainya, atau tujuan pribadinya. Politik kancil yaitu politik yang yang cerdik dengan menggunakan segala macam tipu daya, tentu untuk kepentingan mereka sendiri. Cara berpolitik kedua yang terjadi sekarang adalah politik “Dagang Sapi”, yaitu sebuah cara berpolitik dimana yang terjadi adalah tawar-menawar antara beberapa partai politik dalaml menyusun suatu kabinet koalisi (lembaga dsb). Ini terjadi ketika Partai Demokrat merangkul partai lain dalam satu koalisi yang disebut Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Koalisi.

Beda halnya ketika partai politik  menggunakan system atau cara berpolitik yang memang untuk kepentingan masyarakat, kepentingan bangsa, dan kepentingan Negara. “Politik Kampung” adalah salah satu cara yang seharusnya dipakai oleh partai-partai yang ada dan sedang berkuasa saat ini, yaitu politik yang yang menggunakan semua daya upaya mencapai tujuan dengan sasaran masyarakat di kampung-kampung, kalau Negara untuk sasaran dan kepentingan Negara. Bukan sebaliknya sasaran dan kepentingan partai itu sendiri. Dan politik yang paling bagus untuk situasi yang ada sekarang adalah politik “Buka Keran”, yaitu politik yang dalam dalam kebijakannya untuk menyediakan segala kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya. Kebutuhan hidup dari warga Negara, kebutuhan hidup bagi mereka yang tidak mampu memenuhinya sendiri, dan kebutuhan hidup bagi semua kalangan secara merata.
Tujuan politik yang sebenarnya adalah memegang kekuasaan untuk kesejahteraan Rakyat, Bangsa dan Negara, dan bukan kesejahteraan dirinya, keluarganya atau kawan-kawannya, atau pula golongannya saja. Itulah kebenarannya. Itulah kebaikannya. Hanya saja, faktanya belum ada orang dari partai politik yang tepat dalam menjalankan tujuan yang sebenarnya itu. Karena partai politik yang ada sekarang hanya digunakan untuk mencari posisi, setelah itu lupa dengan tujuannya. Sehingga tidak heran jika sebagian dari kita menyatakan “jangan percaya dengan politikus”.

Lantas siapa yang akan kita percaya? Semua pemerintah yang ada sekarang berasal dari partai politik. Bahkan dalam UUD 1945, yang bisa dipilih menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Bahkan perjuangan beberapa orang yang mengupayakan calon independen atau yang bukan brasal dari partai politik untuk mencalonkan diri sebagai presiden kandas. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah yang memperbolehkan calon independen untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah, apakah gubernur atau juga bupati dan walikota. Kembali lagi ke proses pembuatan UU itu sendiri, bahwa UU terbentuk lewat jalur politik. sehingga politikus tidak rela jika calon presiden dan wakil presiden berasal diluar dari partai politik. Bisa dikatakan Indonesia bukanlah Negara yang berdasarkan hukum, tetapi Negara yang berdasarkan politik. itu jika kita kaitkan dengan kenyataan yang  sekarang.

Jika memang kita tidak mau percaya dengan politikus, terus mengapa kita masih mau dipimpin oleh orang yang berasal dari partai politik. Dan sudah terbukti bahwa partai politik tidak ada yang bisa membuat bangsa ini sejahtera. Walau berkuasa berapa tahun pun, belum ada sejarahnya mereka bisa mengeluarkan kita dari kemiskinan, belum ada yang bisa mengeluarkan kita dari penjajahan asing (secara ekonomi) dan belum ada yang bisa mengantar bangsa ini seperti Negara tetangga yang lebih maju. Bahkan dari tahun ketahun saja, utang luar negeri kita terus bertambah dan hanya mampu untuk membayar bunga. Itu adalah tanggungan seluruh rakyat, bukan tanggungan dari politikus yang sedang berkuasa. Kenyataannya, yang lebih banyak menggunakan uang (menghamburkan) adalah para politikus itu sendiri, mereka merampas uang rakyat secara legal (dengan aturan yang dibuat sendiri). 

Jadi, apakah partai politik harus dibubarkan? Dan kepemimpinan bangsa ini diambil alih oleh rakyat. Itu tidak mustahil jika kelakuan politikus saat ini tetap saja mempermaikan rakyat. Hingga pada akhirnya rakyat muak dan mencaci mereka sehingga tidak ada lagi kekuatan yang bisa menahaannya. Dan partai politik dengan deretan politikusnya tinggallah nama. Atau tetap ada tetapi mereka berlindung dengan perkataan orang bijak “janganlah bicara benar jika kebenaran yang diucapkan itu akan menutupi kebohongan. Bicaralah bohong, jika kebohongan  itu sesungguhnya suatu selubung bagi kebenaran”. Hanya itu pembenaran mereka yang bisa menjadi senjata ampuh untuk tetap melanggengkan praktek busuk untuk menguasai dan membodohi rakyat dengan sandiwara palsu.