Entri Populer

Selasa, 14 Februari 2012

Pembredelan Siaran Radio Era Baru


Nullum Delictum, Nulla poena sine praevia lege poenali, kata-kata latin itu sangat familiar dikalangan orang hukum, sebuah asas yang dikenal sejak seorang mahasiswa memasuki semester awal perkuliahan di fakultas hukum manapun di Indonesia. Bahkan mungkin di fakultas hukum di luar negeri apalagi dinegara asal asas ini (Eropa). Semua orang hukum mengetahuinya, tapi mungkin tidak semua orang mengaplikasikannya dan menjadikannya rujukan dalam menangani suatu perkara terutama dalam penegakan hukum. Ada saja alasan yang membuat tidak ditaatinya asas yang menjadi salah satu ciri dari nengara hukum.

Apa dan bagaimana sebenarnya pengertian asas hukum ini, penulis hanya ingin mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya “Kitab undang-undang hukum pidana serta komentar-komentarnya“ menjelaskan bahwa ”peritiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu” sehingga dengan adanya ketentuan ini, dalam menghukum orang hakim terikat oleh undang-undang sehingga terjaminlah hak kemerdekaan diri pribadi orang. Sangat ideal bagi sebuah Negara hukum jika asas ini diberlakukan secara adil, Negara tidak bisa mempidana warga negaranya jika tidak atau belum diatur dalam hukum positif. Bagaimana dengar kasus pembredelan Radio Era Baru di Batam, apakah asas ini diterapkan dengan benar?

PT. Radio Suara Harapan Semesta (Era Baru) Pada tahun 2004 tepatnya tanggal 21 Juni 2004 telah mendapat rekomendasi dari Wali kota Batam. Dalam pengurusannya dilanjutkan ke tingkat Gubernur Riau, kemudian mendapat rekomendasi dari Gubernur  Riau pada tanggal 12 Agustus 2004, dan kemudian mendapat perijinan frekuensi dari Dinas Perhubungan Propinsi Riau pada tanggal 3 September 2004 (sesuai denga aturan pengurusan ijin waktu itu).  Terhitung sejak 01 Maret 2005 Radio Era Baru merealisasi kegiatannya dan mulai saat itulah secara resmi mulai mengudara pada frekuensi 106,5 MHz.

Hingga akhirnya pada saat berlakunya UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta PP 50 tahun 2005 yang diundangkan pada 16 November 2005, Era Baru melakukan penyesuaian dan mendapat rekomendasi kelayakan dari Komisi Penyiaran Daerah (KPID). Akan tetapi, dengan alasan melanggar program siaran, Menkominfo memutuskan tidak memberikan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) meski sudah ada rekomendasi dari KPID. Dengan penolakan itu, Era Baru melakukan upaya hukum di PTUN Jakarta, PT TUN, dan sekarang masih dalam proses Kasasi di Mahkamah Agung, artinya penolakan ijin dari Menkominfo belum berkekuatan hukum tetap (incracht) sehingga pada dasarnya Era Baru masih bisa melakukan siaran sesuai dengan ijin yang diberikan oleh Dinas Perhubungan Propinsi Riau 2004, dan juga tidak ada perintah dari pengadilan (PTUN) untuk menghentikan siaran sementara selama proses hukum - melawan Menkominfo - perijinan belum selesai. Di sisi lain, Menkominfo memberikan IPP kepada Radio Sing FM tahun 2009 dengan frekuensi 106,5 MHz. Era Baru mengajukan gugatan ke PTUN dan menang, Menkominfo Banding, hingga sekarang masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung.

Tidak sampai disitu, sekitar Juli 2011 Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Era Baru karena dianggap menyelenggarakan siaran radio menggunakan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit tanpa izin dari pemerintah. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat 1 junto Pasal 33 ayat 1 UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Sehingga diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Batam pada tanggal 16 September 2011 bersalah “melakukan perbuatan yang menimbulkan gangguan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi;

Dimana letak keadilan itu sebenarnya? Radio era baru dihukum karena dianggap tidak memiliki ijin untuk bersiar (on air) atau menggunaan frekuensi yang sebenarnya milik publik. Padahal, secara administrasi perijinan sudah ada dan secara fakta telah beroperasi sebelum PP 50 tahun 2005 yang mengatur tentang lembaga penyiaran swasta (termasuk didalamnya masalah perijinan dan serta ketentuan peralihan) diundangkan.  Proses penerbitan IPP yang ditolak oleh menkominfo juga masih dalam proses hukum di Mahkamah Agung, sehingga hukuman kepada Radio Era Baru dengan alasan tanpa ijin dari pemerintah adalah sangat tidak bisa diterima secara akal sehat maupun secara asas hukum.

Sepertinya penegak hukum tidak lagi melihat secara jernih Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, atau yang lebih dikenal dengan asas legalitas. ”tiada satu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu. Ayat (2) Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”

Menurut Soesilo dalam penjelasannya menyatakan, bahwa apabila peristiwa pidana dilakukan sebelum ketentuan pidana yang mengenai peristiwa pidana itu di ubah, sehingga peristiwa pidana ini dapat dikenakan dua macam ketentuan pidana ialah yang lama dan yang baru, maka hakim harus menyelidiki terlebih dahulu ketentuan pidana manakah yang lebih menguntungkan kepada terdakwa, yang lama atau ataukah yang baru. Bila yang lama lebih menguntungkan, maka yang lama itulah yang dipakai, sebaliknya bila yang baru lebih menguntungkan, maka yang baru itulah yang dipakai. Lebih menguntungkan itu berarti lebih menguntungkan sesudah ditinjau dari semua sudut, misalnya mengenai berat ringannya hukuman, soal anasir-anasir peristiwa pidananya, soal masuk delik aduan atau tidak, mengenai salah tidaknya terdakwa dan sebagainya.
Bila ada kejadian seorang telah berbuat yang melanggar undang-undang, sedangkan sebelum peristiwa itu diputuskan oleh hakim, kemudian undang-undang itu diubah sedemikian rupa sehingga perbuatan semacam itu tidak dilarang lagi, maka orang itu tidak dihukum. Bukankah disini undang-undang yang baru yang lebih menguntungkan kepada terdakwa, sehingga undang-undang itulah yang dipakai”

Undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang positif yang berlaku, baik yang ada dalam pasal-pasal serta ayat-ayat, maupun putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (incrach van gewijde). Putusan incrach van gewijde otomatis menjadi undang-undang terutama kepada pihak yang berperkara. Dalam hal ini, Era Baru tidak bisa dikatakan melanggar Pasal 53 ayat 1 junto Pasal 33 ayat 1 UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, karena belum ada kekuatan hukum mengikat antara Menkominfo dengan Era Baru terkait IPP, dan aktifitas (hak siar/on air)  yang dilakukan oleh Era baru adalah masih mengacu pada ijin yang diterima sebelum PP 50 tahun 2005 diundangkan karena ijin tersebut belum pernah di cabut.

Menjadi sangat lucu jika hakim menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana dimana perbuatan yang dilakukan seseorang itu masih dalam proses (belum Incracht), dan belum tentu dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung, lantas pertimbangan apa yang membuat hakim menyatakan Era Baru bersalah, hanya Tuhan dan hakim itulah yang tau sebenarnya. Karena dalam putusannya menyatakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena dari segi asas hukum, hakim tidak mempertimbangkan sama sekali, belum lagi jika melihat asas equality before the law, serta asas hukum lain yang dianut oleh sebuah Negara hukum.Nullum Delictum, Nulla poena sine praevia lege poenali, kata-kata latin itu sangat familiar dikalangan orang hukum, sebuah asas yang dikenal sejak seorang mahasiswa memasuki semester awal perkuliahan di fakultas hukum manapun di Indonesia. Bahkan mungkin di fakultas hukum di luar negeri apalagi dinegara asal asas ini (Eropa). Semua orang hukum mengetahuinya, tapi mungkin tidak semua orang mengaplikasikannya dan menjadikannya rujukan dalam menangani suatu perkara terutama dalam penegakan hukum. Ada saja alasan yang membuat tidak ditaatinya asas yang menjadi salah satu ciri dari nengara hukum.

Jakarta, 14 Februari 2012