Entri Populer

Selasa, 28 Juni 2011

Akankah Wadah Tunggal Advokat Terwujud?


Senin, 27 Juli 2011 Mahkamah Konstitusi RI (MK) mengetuk palu untuk pengujian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa permohonan pengujian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini adalah sama dengan pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2003 tentang Advokat yang telah diputus oleh MK pada tahun 2006. Sehingga MK menyatakan dalam putusannya bahwa perkara ini adalah nebis in idem.

Sekedar diketahui, pengujian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini diajukan oleh beberapa orang pemohon yaitu Husen Pelu, S.H., Andrijana, P.Si., S.H., Abdul Amin Monoarfa, S.H., Nasib Bima Wijaya, S.H., S. Fill. I, Siti Hajijah, S.H., R. Moch. Budi Cahyono, S.H.,  Joni Irawan, S.H., Supriadi Budisusanto, S.H. yang kesemuanya adalah advocate yang belum disumpah dari Kongres Advocat Indonesia (KAI) dan merasa bahwa Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2003 tentang Advokat mengenai frasa ”satu-satunya” telah melanggar hak asasi manusia dan hak mereka dalam berserikat.

MK menyatakan bahwa frase “satu-satunya” Organisasi Advokat tidaklah bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, karena wadah tunggal Organisasi Advokat tidaklah menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, juga tidak menghalangi seseorang hidup sejahtera lahir batin serta tidak menyebabkan perlakuan yang diskriminatif. Menjadi Advokat yang secara sadar dipilih oleh para Pemohon adalah pilihan menurut hati nurani, sehingga secara sadar pula harus terikat dengan ketentuan yang bertalian dengan profesi pilihan tersebut yaitu menjadi anggota dari satu-satunya Organisasi Advokat.

Putusan MK ini akan menjadi masalah baru jika para pihak yang bertikai tidak mempunyai itikad baik dan legowo dalam menghadapi, menafsirkan dan menjalankan isi putusan tersebut. Karena dalam amar putusan menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima, akan tetapi dalam pertimbangannya secara jelas menyatakan PERADI dan KAI secara de facto ada. Seandainya saja beberapa organisasi advokat yang ada sekarang dan diakui secara de facto tidak mau atau saling bersikeras bahwa organisasinyalah yang pantas atau paling sesuai dengan amanat Undang-undang No 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka perseteruan wadah tunggal advokat tidak akan selesai sampai batas waktu 2 (dua) tahun sesuai dengan keputusan MK. Sehingga akan kembali lagi parade gugat menggugat seperti yang terjadi sekarang dan korbannya sekali lagi adalah calon advokat atau advokat yang belum disumpah.

Catatan yang harus diperhatikan juga oleh pihak terkait bahwa dalam pertimbangan MK secara jelas menyatakan PERADI dan KAI diakui secara de facto. Artinya dalam sistem keorganisasian advokat Indonesia setelah Putusan ini sampai terbentuk wadah tunggal Organisasi Advokat adalah system multi bar association. PERADI, KAI, ataupun PERADIN tidak bisa lagi menganggap dirinya sebagai satu-satunya Organisasi Advokat. Dan satu-satunya Organisasi Advokat harus dibentuk oleh para advokat yang batas waktunya jelas disebutkan dalam putusan MK yaitu selambat-lambatnya 2 tahun sejak putusan diucapkan.
“[3.9.5] Bahwa mengenai belum disumpahnya para Pemohon, sehingga tidak dapat menjalankan profesi sebagai Advokat untuk kehidupan mereka, atau penolakan oleh pengadilan untuk ikut beracara sebagai Advokat, hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, melainkan soal penerapan atau implementasi dari hukum itu oleh pengadilan. Selain itu, dalam putusan Nomor 101/PUU-VII/2009, tanggal 30 Desember 2009 antara lain telah dipertimbangkan oleh Mahkamah bahwa “Penyelenggaraan sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satusatunya wadah profesi yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan “... frasa di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua Organisasi Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai Organisasi Advokat yang sah menurut UU Advokat. Kemudian Mahkamah mempertimbangkan, “Untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada sebagaimana dimaksud pada paragraph [3.14] huruf g di atas yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 (dua) tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang diselenggarakan bersama oleh Organisasi Advokat yang secara de facto saat ini ada”;

Hanya saja, MK mungkin lupa dengan pertimbangan hukumnya terhadap pengujian Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 Nopember 2006 pada point 4 dan 6 pertimbangan hukumnya berpendapat dan telah menegaskan hal sebagai berikut:

1. Bahwa Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan menunjukkan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Karena, Pasal 28 ayat (1) menyebutkan. " Organisasi Advokat merupakan satusatunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat". Maka organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.
2.  Bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.

Pertimbangan hukum ini yang juga menjadi dasar bagi PERADI untuk menyatakan bahwa PERADI adalah satu-satunya organisasi advokat. Jika kita baca secara seksama, antara pertimbangan dengan  Putusan Perkara No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 Nopember 2006 pada point 4 dan 6 jelas sangat bertolak belakang dengan pertimbangan MK dengan putusan perkara Nomor 79/PUU-VIII/2010. Dimana tahun 2006 menyatakan peradi tidak perlu lagi dipermasalahkan konstitusionalitasnya sebagai satu-satunya wadah profesi advokat akan tetapi sekarang MK berpendapat bahwa secara de facto, PERADI dan KAI ada dan sama-sama mengklaim sebagai wadah tunggal advokat. Ini akan menjadi masalah baru buat keabsahan organisasi advokat kedepan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, pengawasan terhadap Pengadilan Tinggi yang menerima permohona sumpah yang diajukan oleh organisasi advocate baik dari KAI, PERADI, maupun dari PERADIN, atau organisasi advokat lain yang secara de facto ada. Putusan MK tersebut secapatnya harus dikirim ke Mahkamah Agung untuk diedarkan kesemua lingkup pengadilan baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi di Indonesia untuk menginstruksikan kepada seluruh hakim supaya tidak menolak advokat dari organisasi advokat lain selain dari PERADI beracara. Apalagi seperti yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang tidak mau mengambil sumpah calon advokat selain yang diusulkan oleh PERADI dengan alasa SEMA Nomor 089/KMA/VI/2010. Hal ini menjadi kekhawatiran karena pada tahun 2009, MK dalam pertimbangannya tanggal 30 Desember 2009, dalam putusan perkara No. 101/PUUVII/2009 dengan amar putusan sebagai berikut:

Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Repbulik Indonesia Nomor 4288) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;

Jangan sampai Mahkamah Agung sendiri yang lalai dalam menjalankan putusan ini sebagaimana yang pernah dilakukan pada tahun 2010 yang mengabaikan putusan perkara No. 101/PUUVII/2009 dengan membuat Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010 yang antara lain menyatakan: “Para Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus Peradi, sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010.” Ini adalah sebuah tindakan yang mengabaikan dan tidak mengindahkan putusan MK.

Cacatan terakhir adalah sudah seharusnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat direvisi karena terlalu banyak pasal-pasal yang multi tafsir dan bisa dijadikan sebagai perdebatan yang berujung pada uji materil. Sejak diundangkan tahun 2003 sampai 2011 sekarang, Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat setidaknya 8 (delapan) kali Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai UU Advokat, yaitu: Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 yang menguji Pasal 4 ayat (1) UU Advokat; Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 yang menguji Pasal 1 Angka 1 dan Angka 4 UU Advokat; Perkara Nomor 015/PUU-IV/2006 yang menguji Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat: Perkara Nomor 009/PUU-IV/2006 yang menguji Pasal 32 ayat (1) UU Advokat; Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 yang menguji Pasal 12 UU Advokat; Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 yang menguji Pasal 31 UU 5 Advokat; serta Perkara Nomor 019/PUU-I/2003 yang menguji Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 14 sampai 17, Pasal 32 ayat (2), Pasal 3 ayat (1); Pasal 32 ayat (3) UU Advokat, dan terakhir adalah pasal 28 ayat (1) dengan frase “satu-satunya”.

Pihak yang paling dirugikan dalam pertentangan pengujian wadah tunggal Organisasi Advokat adalah para advocate muda atau advocate yang belum disumpah, mereka akan sedikit pusing akan memilih organisasi advocate mana, apakah PERADI, PERADIN atau KAI yang masing-masing mengklaim diri sebagai satu-satunya Organisasi Advokat. MK sendiri dalam pertimbangannya menyatakan bahwa secara de facto, PERADI dan KAI diakui, itu  artinya bisa menjalankan profesi advokat sebelum terbentuk Organisasi Advokat sebagai wadah tunggal. Hanya saja apakah PERADI, KAI dan PERADIN akan rela dan sepakat untuk membentuk wadah tunggal Organisasi Advokat bersama dengan seluruh advokat yang ada dalam kurung 2 (dua) tahun kedepan sejak putusan MK tersebut diucapkan yaitu sejak tanggal 27 Juni 2011.