Entri Populer

Kamis, 16 Juni 2011

BEROBAT UNTUK MENCARI SAKIT


Tergelitik hati ini ketika membaca berita di harian Tempo edisi 16 Juni 2011 yang berjudul “Menjelang vonis, terdakwa korupsi ke Singapura”. Apa yang salah dengan berita ini, sebanarnya tidak ada. Hanya saja saya berpikir seberapa hebatkah singapura itu sehingga menjadi destinastion paling favorite bagi kalangan borjuis Indonesia. Apalagi para pejabat yang tersandung kasus korupsi, baik dia sebagai saksi, tersangka, ataupun sudah berstatus terdakwa.

Memang perjalanan ke negeri tetangga seperti Singapura dan Malaysia sudah menjadi trend oleh kalangan elit. Apakah untuk tujuan wisata (jalan-jalan) atau untuk urusan bisnis, jika pejabat Negara menjadi urusan politik dan kerjasama, itu adalah hal wajar. Akan tetapi ketika terbang ke negeri yang termasuk dalam kelompok empat macan asia itu untuk alasan berobat, ada hal yang perlu kita kritisi bersama. Bukannya melarang seseorang untuk berobat, akan tetapi ada hal lain yang perlu kita renungkan. 

Pertama, masalah rumah sakit dan kualitas dokter yang ada dalam negeri. Tidakkah kita menghargai ahli-ahli dalam negri kita, rumah sakit yang berstandar nasional dan internasional. Saya sangat yakin, kualitas dokter ahli kita tidak kalah dengan dokter yang ada diluar sana. Terus apa yang membuat mereka lebih memilih terbang jauh-jauh. Apakah terkait dengan pelayanan ataukah fasilitas yang belum ada di Indonesia. jika memang benar, Indonesia juga memiliki rumah sakit yang berlabel internasional. Semoga label yang disandang itu sesuai dengan peralatan dan pelayanan yang diberikan. 

Menurut laporan VivaNews.com yang dikutip dari Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dr. Supriyantoro, SpP, MARS, dipastikan lebih dari 100 triliun pertahun devisa yang keluar dari perilaku masyarakat yang berobat ke luar negeri. Ini adalah hal yang memprihatinkan, lalu bagaimana upaya pemerintah dalam membendung pertukaran uang keluar negeri tersebut. Sudah waktunya untuk mengevaluasi kinerja para pekerja medis terutama masalah pelayanan prima kepada pasien. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pekerja medis kita sehingga tidak ada lagi kasus dimana rumah sakit menelantarkan pasiennya.

Persoalan devisa bukanlah hal mendasar, dan seharusnya tidak dikaitkan dengan kebebasan seseorang untuk mencari pengobatan. Ini hanya sebagai alasan untuk membangkitkan kinerja dokter dan pekerja medis lainnya untuk lebih memperhatikan kepuasan dan kesehatan pasien. Masyarakat mencari rumah sakit bukan lagi karena murahnya, tetapi unsur kepuasan atas pelayanan yang cepat, mendapat diagnose secara tepat, karena kesehatan adalah segalanya bagi semua orang. Jika kesadaran untuk melayani pasien sudah tumbuh, tanpa pemasaran yang baguspun, rumah sakit itu akan selalu didatangi.

Hal kedua adalah orang-orang yang pergi berobat keluar negeri adalah para pejabat, businessman yang tersandung kasus hukum. Kasus seperti Nazaruddin, Nunun Nurbaeti, dan kasus lain yang tidak kalah hebohnya, mereka berbondong-bondong meminta izin untuk berobat. Dan dengan alasan kemanusiaan, alasan hak asasi manusia, tidak ada yang berani mencegah. Bahkan penegak hukum ribut-ribut dan saling menyalahkan ketika panggilan pemeriksaan dan mereka tidak bisa didatangkan dengan alasan sakit dan masih sementara berobat. 

Secara akal sehat, tidak ada yang menginginkan dirinya sakit, tidak ada yang mengiginkan diagnosa sakit oleh dokter. Hal yang berbeda misalnya ketika diagnose itu diminta sendiri oleh pasien untuk kepentingan tertentu. Saya menyebutnya “berobat untuk mencari sakit”. Menurut keterangan dokter forensic Reza Indragiri Amriel di metro TV, saat ini marak persekongkolan untuk memanipulasi kondisi fisik dan psikis seseorang guna menemukan celah hukum. Surat sakit itulah yang dijadikan senjata paling ampuh untuk berkelit dari jeratan hukum yang menimpa para pencuri berdasi, (sengaja) berobat keluar negeri dan tidak kembali lagi memenuhi panggilan. Apalagi mereka yang menyempatkan diri berobat dan bertamasya (satu paket) ke Singapura, negeri paling aman buat pencuri uang rakyat.

Alasan sakit juga yang membuat majelis hakim yang menyidangkan kasus-kasus korupsi untuk memfonis para terdakwa lebih ringan dari jaksa penuntut umum. Bahkan presiden SBY terketuk hatinya untuk meberikan pengampunan (grasi) kepada salah seorang terpidana korupsi, Syaukani, dengan alasan kemanusiaan sehingga hukumannya 2 kali lebih ringan dari putusan hakim. 

Diagnose sakit oleh dokter, hanya dia dan Tuhan yang tau.

Rabu, 15 Juni 2011

MASIHKAH KEJUJURAN ITU DIBUTUHKAN?

Jujur, sebuah kata yang mengindikasikan orang yang menyandang predikat jujur dalam setiap tindak tanduk dan perkataannya adalah pastinya disenangi oleh masyarakat sekelilngnya. Setidaknya itulah anggapan awal terhadap prilaku jujur tersebut. Anggapan itu boleh saja benar, bahkan seharusnya memang seperti itu, idealnya tidak boleh keluar dari jalur moral. Akan tetapi, hal yang sebaliknya terjadi pada negeri ini, negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai kejujuran.

Nilai kejujuran sebenarnya masih dalam tahap teori dan konsep, belum menjadi suatu hal yang applicable oleh bangsa ini. Meskipun tidak terhitung lagi jumlah para cendekiawan, para pemimpin, para pengusaha, dan berbagai kalangan masyarakat yang selalu mengungkapkan dan menyatakan bahwa ‘jujur’ itu adalah penting untuk membangun pondasi bangsa ini. 

Pendapat ini bukanya tak berdasar, akan tetapi kita sepertinya sudah terusik dengan kata-kata jujur itu ketika disandingkan dengan keadaan yang ada sekarang. Seseorang yang mencoba berbuat jujur malah menjadi korban ketidak-mengertian atau sengaja tidak mau mengerti akan nikmat dari perbuatan itu. Atau karena mereka terpaksa melakukannya karena system yang membuat hal itu terjadi. Ah, lagi-lagi system yang dipersalahkan, bagaimana dengan orang yang membuat dan menjalankan system itu?

Alif, seorang siswa sekolah dasar, SDN Gadel II di surabaya adalah salah satu contoh. Karena kejujurannya dalam mengerjakan Ujian Nasional (UN) di sekolahnya membuat dia harus menanggung akibatnya. Dan tak tanggung-tanggung, warga yang ada dilingkungannya mengusir dia dari istana yang selama ini dia tempati bersama dengan orang tuanya. Bahkan mencapnya "sok pahlawan" dan "tak punya hati nurani" (detiknews.com).

Sungguh tragis nasib yang dialami oleh adik kita yang satu ini. Berdasar nilai-nilai kejujuran yang diajarkan oleh orangtuanya ternyata membuat  dia harus kehilangan kemerdekaannya dan kehilangan harapanya. Ini adalah kasus kecil yang menjadi contoh, bagaimana dengan seorang pejabat yang mencoba berbuat jujur? Pasti akan lebih berat akibat yang akan dia tanggung. Karena jujur tidak lagi memiliki tempat di republik ini, yang ada hanyalah kebohongan, dusta dan tipu muslihat.

Apa yang akan terjadi jika kejujuran itu tidak lagi menajdi patokan dalam bertindak, tidak lagi menjadi tolak ukur ketika ingin melakukan sesuatu dan yang lebih parah tidak lagi didambakaan keberadaannya oleh masyarakat. Dan bagaimana pula dengan orang yang masih teguh memegang nilai-nilai kejujuran itu, apakah akan selamanya bertahan dan mempertahankan idealismenya? 

Sepertinya akan sangat susah jika kita sudah hidup di negara yang kleptokrasi, Negara yang penuh dengan kebohongan, Negara yang penuh dengan kepura-puraan, Negara yang penuh dengan acting seperti semuanya dalam panggung sinetron. Para penyelenggara Negara  berpura-pura baik hanya jika berhadapan dengan media, berhadapan dengan konstituen, dan berhadapan dengan para penipu itu sendiri.

Memang lucu negeri ini, tidak akan lebih parah jika kita menyebutnya Negara kleptokrasi. Yang dalam bahasa latin disebut (kleptein dan cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan korupsi merajalela (a government characterized by rampant greed and corruption), Amich Alhumami (2005). Atau dalam bahasa Yunani disebut juga klepto+kratein yang berarti "diperintah oleh para maling" (Wikipedia Indonesia). 

Kleptokrasi sebagai salah satu bentuk korupsi berat tidak semata-mata merupakan tindakan birokrat dalam menerima suap yang jumlanya kecil, tetapi suatu bentuk keserakahan pemegan kekuasaan dalam melakukan tindakan menyalahgunakan kekuasaanya untuk kepentingan pribadi dan kroni kroninya dengan kerugian keuangan negera yang sangat luar biasa (R. theobald, 1994 : 701 ).sumber :Opcit, hlm.8

Negara yang dalam kategori sebagai Negara kleptokrasi juga bisa dikatakan sebagai Negara gagal (failed state). Dan negeri ini bisa jadi adalah salah satu contoh, dimana tidak ada lagi panutan yang bisa menuntun kita menuju hidup yang ideal. Penyelenggara negara telah melakukan persekongkolan dengan korporasi untuk menguras uang public. Telah melakuan kebohongan massal dalam menjalankan roda pemerintahan. Ciri lain dari negara kleptokrasi adalah ketika administrasi public dijalankan dengan system kronisme, nepotisme dan makelarisme (Wikipedia Indonesia). Sepertinya tidak ada ciri yang terlewatkan jika kita mengambil contoh untuk negeri ini, jadi memang sudah pantas menyandang gelar Negara kleptokrasi, sebuah kebanggaan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Bahkan, hukum yang seharusnya dijadikan panglima dalam mencari keadilan tidak mampu lagi menyediakan rasa adil, tidak mampu menjadi solusi bagi para pencari keadilan, bahkan keadilan itu dinisbahkan hanya kepada pemilik modal saja. Jangan menyalahkan system lagi, tetapi salahkan penegak hukum kita yang seakan tidak mempunyai wibawa dalam memangku rasa adil itu dipundaknya. Seharusnya mereka dengan berani mengatakan “saya tidak mampu menjalankan tugas ini, dan saya serahkan kepada orang yang betul-betul bisa”. Masih adakah orang-orang yang didambakan itu?

Kasus terakhir yang membuat kita tambah yakin adalah Syarifuddin, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap terkait penanganan kepailitan PT Skycamping Indonesia. Syarufuddin diduga menerima suap senilai Rp 250 juta dari Puguh terkait penjualan aset PT SCI yang dinyatakan pailit sejak 2010. Penjualan aset PT SCI berupa tanah di Bekasi senilai Rp 16 miliar dan Rp 19 miliar itu harus melalui persetujuan Syarifuddin selaku hakim pengawas pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Penyakit kleptokrasi, dalam ilmu psikologi adalah penyakit bisa disebut dengan kleptomania, penyakit yang dimana pengidapnya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Sebenarnya kleptomania masih bisa disingkirkan di negeri ini. Tetapi hanya ada satu jalan yang menurut penulis adalah obat ampuh nan mujarab, yaitu mengamputasi setiap penyelenggara administrasi pemerintahan yang sudah mengidap penyakit ini. Tetapi masalahnya adalah siapa yang bisa mengindikasikan pejabat yang kleptomania ini? Karena tidak ada orang yang mau mengaku dirinya adalah maling, malah pepatah “maling teriak maling” menjadi senjata ampuh mereka.

Pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: apakah masih ada penyelenggara Negara yang tidak mengidap penyakit kleptomania?

Kabari Aku tentang Keadaanmu

Kabari Aku tentang Keadaanmu

Tulungrejo, Pare, Kediri, jawa Timur, Indonesia, Asia Tenggara, Asia.

Intrenship, English Studies, Access.

Waktu saya mau memulai menulis di group ini, sebenarnya ada satu hal yang sangat membuat saya tidak bisa lupa, yaitu diskusi dengan orang-orang yang mempunyai pemikiran jauh ke depan, mempunyai mimpi-mimpi yang tidak akan padam sebelum tercapai, jiwa muda teman-teman yang membara, sadar akan kerasnya hidup ini.
Intrenship, sebuah program yang baru dibuka di Access_ES waktu itu yang dirancang khusus oleh Eddy Suaib, Manager Access_ES. program ini menawarkan hal yang berbeda dengan seluruh program yang ada di Pare. sebuah terobosan yang patut diacungi jempol (pendapat pribadi yang orang lain boleh ga setuju). sebuah intermeso!!!

Ketika itu, saya sebenarnya sangat iri dengan kemampuan pemikiran dan semangat dari jiwa muda teman-teman dalam belajar bahasa inggris yang sebagian orang menyebutnya bahasa internasional. apalagi ketika membahas tentang Indonesia yang sebenarnya "tidak ada". iri karena saya tidak punya semangat yang sama dengan teman-teman di usia yang sama, iri karena saya tidak pernah dapat hal yang sama sebelumnya, iri karena saya tidak bisa ngomong banyak seperti teman-teman, iri karena semuanya bebas untuk mengungkapkan apa saja, iri karena semuanya, dan semuanya.

Banyak hal yang terjadi selama 2 bulan 2 minggu (periode normal yang berjalan di Intrenship), saya berpikiran bahwa belajar bahasa Inggris adalah hal yang kedua waktu itu. Pertama yang lebih penting adalah kebersamaan dan semangat yang kuat, tidak pernah saya dapati sejak menduduki bangku sekolah Formal. ada sebuah dorongan kuat dalam diri teman-teman dan sangat yakin bahwa apa yang dilakukan adalah bekal dan jembatan menuju impian masing-masing.

Impian yang mungkin tidak sekeren Andrea Hirata dalam bukunya tetralogi Laskar Pelangi, tetapi itu mampu membakar jiwa muda teman-teman belajar dimana pada saat yang sama ditempat lain sebagian anak muda Indonesia sibuk dengan hura-huranya dan seakan tidak sadar siapa mereka sebenarnya, dan kalaupun sadar itulah jalan hidup mereka yang seakan hidup ini hanya sampai besok pagi, ketika fajar menyingsing.

Kebersamaan di Intrenship sebenarnya hanyalah satu rangkaian dalam perjalanan saya, dan yakin kalau itu tidak cukup membuat saya dewasa dan mengerti sebagian besar sifat manusia. meskipun kita datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, tetapi kita disatukan dalam situasi yang sama dan nasib yang sama, menuntut ilmu. kita sangat akrab dan punya hubungan emosional yang erat karena kita dalam situasi dan tujuan yang sama. ketika jalan kita sudah berbeda dan tujuan kita tidak lagi sejalan, saya tidak yakin kita akan sedekat itu.

Persaudaraan dan persahabatan kita sebenarnya akan terlihat ketika sudah tidak lagi bersama, ketika mempunyai kesibukan yang sangat padat dan jadwal yang seakan waktu 24 jam tidak cukup, ketika kita mendapatkan suasana baru yang mungkin lebih bagus saat kita bersama, ketika kita kembali dimana kita berasal sebelumnya, dan kita masih punya waktu satu menit per minggu/per bulan untuk menanyakan dan menyapa "apa kabar kawan??? masihkah engkau mengingat saya???"

Saya yakin itu tidak akan terjadi pada kita semua yang ada dalam group ini, saya sendiri tidak yakin bisa menjalankannya, akan tetapi setidaknya ketika saya membuka group ini, saya teringat bahwa saya dulu pernah bersama dengan orang-orang ini dan bertanya dalam hati "teman-teman ada dimana? apakah sudah menggapai impian kalian? tolong kabari saya jika sudah ada yang berhasil minum secangkir kopi di bawah menara Eiffel. (impian saya yang semoga bisa tercapai dalam waktu dekat)

Banyak hal yang saya pelajari dan saya dapat dari pertemuan dan pertemanan kita saat itu, saya harap itu adalah salah satu instrumen dalam mencapai tujuan hidup. teman-teman juga pasti punya pandangan dan Versi tersendiri akan hal itu. mungkin tidak sejalan dengan pikiran saya, atau juga mungkin lebih tinngi dengan apa yang saya pikirkan tentang Intrenship. setidaknya saya berterima kasih dengan segala yang telah teman-teman berikan yang membuat saya lebih mengetahui arti perbedaan itu, karena kita berbeda, maka kita berbagi dan saling melengkapi.

Sebenarnya, masih banyak yang ingin saya tuliskan dalam catatan kecil ini, masih banyak sisi-sisi lain yang muncul selama kurang lebih tiga bulan itu, akan tetapi saya kadang tidak punya ide untuk menuangkannya dalam tulisan karena takut akan penyakit rindu terhadap suasana itu lagi. sisi yang belum terungkap: Intrenship dengan orang-orangnya yang berbeda karakter, Intrenship dengan programnya tentang isu-isu sosial dan budaya, Intrenship dengan tempatnya yang cukup sederhana, Intrenship dengan kedisiplinan dan akibatnya (punishment), Intrenship dengan kehidupan sosialitanya (Cinlok), Intrenship dengan segala keterbatasannya, Intrenship dengan segala perdebatan dan problematika yang ada, Intrenship dengan semangat maju mundurnya peserta, Intrenship di periode dua minggu terakhir, Intrenship di saat Ujian akhir. dan masih banyak sisi lain yang belum terkorek.

catatan: jika ada teman-teman yang ingin melanjutkan atau menulis sesuatu tentang Intrenship, cobalah memulainya walau hanya satu ungkapan kata